BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah awal politik pada
masa Utsman
Politik adalah sistem untuk mengatur sebuah pemerintahan,
tetapi tidak sedikit karena masalah politik, sekelompok orang dengan yang
kelompok lainnya menjadi permusuhan dan pertempuran. Seperti yang terjadi pada
agama kita sendiri, banyak dari buku-buku sejarah islam yang mencatat tentang
perpecahan umat islam karena masalah politik.
Sebelum membahas lebih jauh lagi, pada masa Nabi Muhammad
yang terlahir dari bangsa suku Quraisy yang ada di Mekah, pada saat itu suku
Quraisy lah yang mengatur sistem kemasyarakatan Mekah, tetapi ketika beliau
menyiarkan agama islam di Mekah banyak juga yang menolak ajarannya dari suku
Quraisy.
Pada pertengahan abad keenam masehi Mekah menjadi jalur
utama para pedagang yang dari timur ke barat atau selatan ke utara, karena pada
waktu itu masih ada peperangan antara Bizantyn dan persia yang membuat kurang amannya jalur
perdagangan utara Mekah, akhirnya berpindah jalurnya ke Mekah. Dengan demikian
Mekah pada saat itu menjadi pusat perdagangan, yang menjadikan Mekah kaya.
Dagang di Mekah ini dipegang oleh suku Quraisy dan menjadi orang-orang yang
berada dan berpengaruh di masyarakat kota Mekah. Pemerintahan di Mekah
dijalankan dengan majlis suku bangsa yang anggotanya diambil dari kepala suku
yang terpilih. Kekuasaan sebenarnya adalah dipegang oleh tangan pedagang yang
kaya dan tinggi untuk menjaga kepentingan mereka, dan juga untuk perlawanan
terhadap Nabi, karena sebab inilah beliau dan pengikutnya terpaksa pindah ke
Yasrib.
Keadaan yang demikian ini berbeda dengan yang ada di Yasrib,
di Yasrib kebanyakan petani sedangkan di Mekah pedagang. Bangsa arabnya ini
terdiri dari dua suku bangsa, yaitu suku Al Khazraj dan Al ‘Aus. Kedua suku ini
selalu bersaing dalam masalah pemimpin dalam masyarakat ini. Persoalan itu yang
membuat kurang amannya Yasrib karena berlarut-larut dalam masalah pemimpin.
Mereka menginginkan seseorang yang bisa menjadi menetralkan suasana tersebut.
Oleh sebab itu, para pemuka-pemuka dari dua pihak in
pergi ke Mekah karena mendengar dan mengetahui kedudukan nabi Muhammad dan
menjumpai beliau serta mereka meminta supaya Nabi pindah ke Yasrib. Melihat
kerasnya tantangan yang ada di Mekah dari kalangan pedagang yang memiliki
kekuasaan, beliau akhirnya pindah ke Yasrib pada tahun 622 M. Setelah pindahnya
Nabi ke Yasrib, diberi nama Madinah al
Nabi, beliau bertindak sebagai pengantara antara kedua suku yang
bertentangan tersebut. Lambat laun setelah menjadi pengantara, kemudian nabi
menjadi kepala masyarakat di Madinah.
Dari sejarah ringkas tadi dapat diambil kesimpulan bahwa
ketika nabi masih di Mekah, beliau hanya mempunyai fungsi kepala agama dan tidak mempunyai fungsi
kepala pemerintahan, karena kekuasaan
yang ada di sana belum dapat dijatuhkan pada waktu itu. Sebaliknya di Madinah,
setelah beliau pindah, nabi Muhammad selain menjadi kepala agama beliau juga
menjadi kepala pemerintahan, beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik dan
dipatuhi di kota ini. Sebelum itu di Madinah tak ada kekuasaan politik.
Dan ketika beliau wafat di tahun 632 M, daerah kekuasaan
Madinahbukan hanya sebatas kota itu, tetapi sudah meluas meliputi semenanjung
Arabia. Dengan demikian negara islam pada waktu itu sudah menjadi kumpulan
suku-suku bangsa arab yang mengikat tali kesatuan dengan Nabi dalam berbagai
bentuk.
Oleh sebab itu, maka tidak heran ketika Nabi wafat, para sahabat sibuk
memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu. sehingga
persemayaman beliau menjadi masalah yang kedua. Kemudian timbullah masalah
pergantian kholifah untuk mengganti nabi Muhammad sebagai kepala negara.
Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar lah yang kemudian
disepakati untuk menjadi kholifah atau pengganti Nabi dalam memimpin negara
mereka, kemudian Abu Bakar diganti oleh Umar bin Khotob, dan Umar diganti oleh
Utsman bin ‘Affan.
Utsman adalah sahabat yang termasuk dalam pedagang yang
kaya, keluarganya pun termasuk pedagang-pedagang kaya di Mekah, karena
pengalaman dagang mereka mempunyai pengetahuan administrasi. Pengetahuan mereka
ini bermanfaat untuk memimpin administrasi di daerah-daerah luar semenanjung
Arabia yang masuk dalam kekuasaan agam islam. Ahli sejarah menggambarkan Utsman
sebagai orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi keluarganya yang kaya
dan berpengaruh itu, akhirnya Ia mengangkat mereka menjadi gubernur-gubernur di
daerah yang ada di bawah kekuasaan islam. Gubernur yang diangkat oleh Umar bin
Khotob yang terkenal sebagai orang yang kuat dan tidak memikirkan kepentingan
keluarganya dijatuhkan oleh Utsman.
Tindakan-tindakan politik yang dijalankan oleh Utsman ini
menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat yang
dahulu mendukung Utsman, ketika melihat tindakannya yang kurang tepat itu,
mulai meninggalkan kholifah yang ketiga ini. Orang-orang yang semula ingin
menjadi kholifah atau orang yang ingin calonnya menjadi kholifah mulai tidak
senang juga, kemudian timbullah perasaan tidak senang di daerah-daerah lain.
Dari mesir, sebagai reaksi terhadap dijatuhkannya Umar ibn al ‘As yang
digantikan Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh yang masih termasuk keluarga dari
Utsman, sebagai gubernur Mesir. Kemudian lima ratus pemberontak dari Mesir
berkumpul dan bergerak menuju Madinah, perkembangannya pun menjadikan Utsman
bin ‘Affan terbunuh oleh pemuka pemberontak dari Mesir ini.
Berawal dari kesalahan tindakan politik Utsman yang saat
itu menjadi kholifah, yang lebih mementingkan keluarganya dan juga karena ia
tidak mampu menentang ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Hingga
akhirnya menimbulkan ketidak senangan dari para sahabat dan masyarakat lainnya
di daerah-daerah, sampai menimbulkan pemberontakan di Mesir yang kemudian
bergerak ke Madinah dan menyebabkan terbunuhnya Utsman bin ‘Affan.
2.2 Sejarah munculnya aliran
teologi karena pertempuran sahabat di masa Ali bin Abi Tholib.
Setelah
Utsman wafat, ‘Ali sebagai calon terkuat menjadi kholifah keempat, teatapi ia
segera mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi kholifah,
terutama Tolhah dan Zubair dari Mekah yang mendapat dukungan dari ‘Aisyah.
Namun akhirnya ‘Ali dapat mematahkan tantangan dari Tolhah, Zubair dan ‘Aisyah,
dalam pertempuran yang terjadi di Irak pada tahun 656 M. Tolhah dan Zubair mati
terbunuh, sedangkan ‘aisyah dipulangkan kembali ke Mekah.
Setelah
mematahkan tantangan yang pertama, ‘Ali mendapatkan tantangan yang kedua yaitu
dari Mu’awiyah yang menjadi gubernur Damaskus dan juga masih termasuk keluarga
dekat dari ‘Utsman. Sebagaimana halnya Tolhah dan Zubair, ia juga tidak mau
mengakui kekholifahan ‘Ali, ia juga menuntut kepada ‘Ali untuk menghukum para
pemunuh ‘Utsman, bahkan ia menuduh bahwa ‘Ali ikut campur dalam pembunuhan
‘Utsman[1]. Salah
seorang pemuka pemberontak Mesir yang datang ke Madinah, kemudian membunuh
‘Utsman adalah Muhammad bin Abi Bakr, anak angkat ‘Ali[2]. Dan Ali
pula tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu,
bahkan Ali mengangkat Muhammad bin Abi Bakr menjadi gubernur Meesir[3].
Lambat
laun tantangan Mu’awiyah pun berakhir dengan pertempuran yang terjadi lembah
shiffin, pada awalnya pasukan ‘Ali hampir menang, akan tetapi pemimpin pasukan
dari Mu’awiyah yaitu ‘Amr bin’Ash yang terkenal dengan kelicikannya, mengangkat
alquran pertanda mengajak untuk berdamai, namun ‘Ali dan komandan pasukannya
tidak mempercayainya, akan tetapi karena didesak oleh sekelompok orang, ‘Ali
pun menerima perdamaian itu. Sebagai pengantara, diangaktlah dua orang dari
masing-masing pihak, dari Mu’awiyah ‘Amr
bin ‘Ash dan dari pihak ‘Ali Abu Musa al asy’ari.
Dalam pertemuan mereka, kelicikan ‘Amr bin ‘Ash
mengalahkan taqwa Abu Musa. Sejarah mengatakan bahwa antara ‘Amr dan Abu Musa
ini terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan keduanya. Sebagaimana tradisi, yang
lebih tua itu lebih dahulu mengumumkan kepada semua orang untuk menjatuhkan
keduanya, akan tetapi ‘Amr, ia bertentangan dengan apa yang baru disepakati, ia
hanya menyeatujui menjatuhka ‘Ali, dan menolak menjatuhkan Mu’awiyah.
Dengan adanya peristiwa ini (arbitrase), maka hal ini
merugikan ‘Ali dan menguntungkan Mu’awiyah yang hanya sebagai gubernur naik
menjadi kholifah yang tidak resmi, tak heran ‘Ali tidak menerima hal ini dan
tidak mau meletakan jabatannya sampai ia mati.
Sikap ‘Ali yang menerima tipu muslihat ‘Amr bin ‘Ash,
utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim, sungguhpun dalam keadaan terpaksa,
tidak disetujui oleh sebagian tentaranya.
Mereka berpendapat
babhwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim.
Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada
dalam al Quran. La hukma illa lillah (
tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau la hukma illa Allah (tidak ada perantara selain allah) menjadi
semboyan mereka. Mereka memandang ‘Ali bin Abi Tholib telah berbuat salah
sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah islam, mereka terkenal
dengan nama Khowarij, yaitu orang
yang keluar dan memisahkan diri atau secerders[4].
Karena memandang ‘Ali telah berbuat salah kemudian mereka
menganggap ‘Ali juga telah berbuat dosa, sekarang mereka melawan ‘Ali. ‘Ali
sekarang menghadapi dua musuh, namunia lebih dahulu memusatkan usahanya untuk menghancurkan
kaum khowarij, tetapi setelah mereka ini kalah, tentara ‘Ali terlalu cape untuk
meneruskan pertempuran dengan Mu’awiyah yang masih berkuasa di Damaskus dan
setelah ‘Ali bin Abi Tholib wafat, ia dengan mudah dapat memperoleh pengakuan
sebagai kholifah umat islam di tahun 661 M.
Persoalan-persoalan yang terjadi
dalam lapangan politik yang digambarkan di atas inilah yang akhirnya membawa
kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang tetap islam.
Namun kaum khowarij memandang bahwa ‘Ali, Mu’awiyah, ‘Amr bin ‘Ash, Abu
Musa al Asy’ari dan lainnya yang menerima arbitrase adalah kafir, karena al
quran mengatakan yang artinya :
“ siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan
Allah, maka mereka adalah kafir “.[5]
Dari ayat di atas
inilah mereka kaum khowarij mengambil
semboyan La hukma illa lillah, karena
keempat orang pemuka islam di atas telah dipandang kafir, maka mereka mengambil keputusan untuk membunuh mereka
berempat, akan tetapi hanya Abdurrahman bin Muljam yang ditugaskan membunuh
‘Ali yang berhasil dalam tugasnya.
Lambat laun kaum khowarij berkembang dan pecah menjadi
beberapa sekte. konsep kafir pula turut mengalami perubahan, yang dipandang
kafir bukan hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al Quran, akan
tetapi orang berbuat dosa besar juga dipandang kafir.
Persoalan berbuat dosa inilah yang kemudian mempunya
pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya dalam islam. Persoalannya
ialah : Masihkah ia dipandang orang mu’min ataukah ia sudah menjadi kafir karena
berbuatdosa besar?
Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, pertama ialah
aliran Khowarij yang mengatakan bahwa
orang yang berbuat dosa besar adalah kafir, oleh karena itu ia wajib dibunuh.
Aliran yang kedua ialah aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar
tetap mu’min dan bukan kafir. Adapun soal dosa besar yang pernah ia lakukan,
maka terserah Allah untuk mengampuninya atau tidak.
Aliran yang ketiga ialah aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat di atas.
Bagi mereka orang yang berbuat dosa besar bukan mu’min dan juga bukan kafir.
Orang yang serupa ini, kata mereka mengambil posisi di antara kedua posisi
mu’min dan kafir.
Dari pada itu timbul pula aliran teologi yang terkenal
dengan al Qodariah dan al Jabariah. Menurut
Qodariah, manusia mempunyai kebebasan dalam kehendak dan perbuatannya. Namun
Jabariah sebaliknya, mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan
dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia itu dalam segala tingkah lakunya
menurut Jabariah, merupakan paksaan dan ditentukan oleh tuhan.
Selanjutnya kaum Mu’tazilah, dengan diterjemahkannya
buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa arab, terpengaruh oleh pemakaian
rasio atau akal yang mempunyai kedudukan tinggi dalam kebudayaan Yunani klasik
itu. Kemudian kaum Mu’tazilah membawa kebudayaan rasio ini ke dalam teologi
islam, dengan demikian teologi Mu’tazilah mengambil corak liberal, bahkan
mereka selalu mempergunakan akalnya dalam pemikiran-pemikiran yang ada dalam
islam. Sudah barang tentu mereka, kaum Mu’tazilah mengambil faham Qodariah yang
percaya pada kekuatan kebebasan akal untuk berfikir.
Teologi mereka ini yang bersifat rasionil dan liberal
menarik perhatian bagi kaum inteligensia yang tedapat lingkungan pemerintahan
Kerajaan Islam Abbasiah di permulaan abad ke-9, sehingga kholifah Al Ma’mun
(813-833 M), putra dari kholifah Harun Al Rasyid (766-809 M) di tahun 827 M
menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai madzhab yang resmi dianut negara. Karena
sudah menjadi resmi kaum Mu’tazilah mulai bersikap menyiarkan ajaran-ajaran
mereka secara paksa, terutama faham mereka bahwa al Quran itu bersifat mahluk,
dalam arti diciptakan bukan qodim (dahulu).
Aliran Mu’tazilah yang beersifat rasio ini mendapat
tantangan keras dari golongan tradisionil Islam, terutama golongan Hambali,
yaitu pengikut madzhab Ahmad bin Hambal. Politik yang menyiarkan aliran
Mu’tazilah secara paksa ini mulai berkurang setelah meninggalnya kholifah Al
Ma’mun pada tahun 833 M, dan akhirnya aliran mu’tazilah ini yang sebagai
madzhab resmi dibatalkan oleh kholifah Al Mutawakkil pada tahun 856 M. Dengan
demikian Mu’tazilah kembali pada kedudukan semula, namun kini mereka sudah
mempunyai lawan yang tidak sedikit di kalangan umat islam.
Kemudian perlawana dari Abu al Hasan al Asy’ari yang
membentuk aliran teologi sendiri yang dulunya
ia adalah seorang Mu’tazilah, tetapi karena menurut riwayatnya ia
melihat di dalam mimpi, bahwa
ajaran-ajaran yang dibawa Mu’tazilah itu dicap oleh Nabi Muhammad sebagai
aliran yang sesat, al Asy’ari pun meninggalkan ajaran-ajaran itu dan membentuk
aliran teologi baru yang kemudian terkenal dengan nama teologi al Asy’ariah
atau al Asy’ariah.
Di samping al Asy’ariah timbul pula aliran di Samrkand
suatu aliran yang dibentuk oleh Abu Mansur Muhammad al Maturidi (w. 944 M),
yang kemudian terkenal dengan al Maturidiah, juga bermaksud untuk menentang
Mu’tazilah.
Selain Abu al Hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al
Maturidi, ada lagi seorang teolog dari mesir yang juga bermaksud menantang
Mu’tazilah yaitu at Tahawi (w. 933) dan sebagaimana al Maturidi, ia juga
pengikut dari Abu Hanifah, tetapi ajarannya tidak menjelma menjaadi aliran
teologi dalam islam.
Dengan demikian aliran-aliran teologi yang timbul dalam
islam ialah aliran Khowarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah.
Aliran Khowarij, Murji’ah dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam
sejarah. Yang masih hingga kini ialah aliran Asy’ariah dan Maturidiah dan
keduanya disebut Ahlu al Sunnah wa al
Jama’ah. Aliran al Maturidiah
banyak dianut oleh umat islam yang bermadzhab Hanafi, sedang aliran Asy’ariah
pada umumnya dianut oleh umat islam sunni yang lainnya. Dengan masuknya kembali
faham rasionalisme ke dalam dunia islam, yang dahulu masuknya itu melalui
kebudayaan Yunani klasik akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat modern,
maka ajaran-ajaran Mu’tazilah timbul kembali.
BAB
III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Dari sejarah di atas, dari Rasulullah yang ketika
menyebarkan agama islam di mekah beliau belum bisa mengepalai sebuah
pemerintahan, akan tetapi ketika hijrah ke Madinah beliau tidak hanya menjadi
kepala agama tapi juga menjadi pemerintahan. Beliau lah yang mendirikan
kekuasaan politik islam yang dipatuhi di kota madinah.
Setelah wafatnya beliau
kemudian bergantilah kepala negara itu, yang pertama yaitu Abu Bakr, kedua
‘Umar bin khotob, ketiga ‘Utsman bin ‘Affan dan yang keempat ‘Ali bin Abi
Tholib. Keempat penggani Rasulullah ini yang kemudian terkenal dengan khulafau ar Rosyidin.
Namun ketika
pemerintahan dikepalai oleh ‘Utsman, tindakan-tindakan politiknya justru
menimbulkan ketidak senangan dari sekelompok sahabat dari para sahabat dan yang
lainnya, sehingga menimbulkan pemberontakan yang merugikan dirinya sendiri,
bahkan pemberontak yang di Mesir bergerak menuju Madinah hingga membunuh
‘Utsman.
Setelah wafatnya ‘Utsman, kemudian kekholifahan
digantikan oleh ‘Ali bin Abi Tholib, tetapi karena adanya keinginan dari sahabat
lain yang ingin menjadi kholifah, di antaranya Tolhah dan Zubair yang disokong
‘Aisyah, maka terjadilah peperangan antara mereka di Irak pada tahun 656 M,
akhirnya ‘Ali bisa mengalahkan mereka.
Setelah peperangan berakhir datang lagi tantangan dari
salah seorang yang masih termasuk keluarga ‘Utsman, yaitu Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, hingga terjadi perang yang terkenal dengan perang shiffin. Dari
peperangan inilah yang kemudian adanya arbitrase antara keduanya dan
memunculkan kaum Khowarij dan Syiah.
Dari khowarij ini yang kemudian memandang bahwa orang
yang menerima arbitrasae adalah kafir dan wajib dibunuh. Lambat laun khowarij
tepecah dan mengalami perubahan, yang dianggap telah kafir juga orang yang
berbuat dosa besar. Yang kemudian dari persoalan ini, muncul aliran Khowarij,
Murji’ah
dan Mu’tazilah.
Kemudian timbul pula dua aliran teologi dalam islam, yaitu Qodariah dan Jabariah,yang kemudian
Mu’tazilah mengikuti faham Qodariah dan terpengaruh budaya Yunani klasik yang
befikir secara bebas dengan akal. Karena berfikir bebas ini kemudian mereka
menganggap al Quran itu bersifat mahluk
bukan Qodim, maka timbullah
perlawanan dari umat islam yang lain yang membentuk aliran sendiri, yaitu : al
Asy’ariah, al Maturidiah dan at Tahawi. Namun at Tahawi ini tidak menjelma
sebagai aliran teologi islam.
Dengan demikian aliran yang muncul yaitu : Khowarij,
Syiah, Qodariah, Jabariah, Mu’tazilah,
Asy’ariah dan Maturidiah.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, 1972. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta ; UIP
1963. Tarikh at Tabari, Kairo, Dar al Ma’arif
Nurhayati, S.Ag, Iffa
Humaidah, S.Ag. Fitrah Akidah Madrasah
Aliyah., Solo, CV.AL Fath.
W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan filsafat Islam, terj.
Umar Basalim. Pnerbit P3M, Jakarta, 1987
[1] Tarikh at Tobari, Kairo, Dar al Ma’arif 1963, jilid V,hal. 7
[2] Ibid. Jilid IV, Hal 353, 357, 391 dan
393, Jilid III, Hal 426 dan Jilid V, Hal
154
[3] Ibid. Jilid IV, Hal 555
[4] W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan filsafat Islam, terj. Umar Basalim. Pnerbit
P3M, Jakarta, 1987, hlm. 10.
[5] Al Maidah (5), 44.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar